MENYOAL PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN PENDIDIKAN NONFORMAL
MENYOAL PENDIDIK DANTENAGA KEPENDIDIKAN ( PTK) PENDIDIKAN NONFORMAL
Oleh:
Tri Fatchur
Rohman
Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara (UU No. 20 th. 2003). Menilik pengertian di atas, dapat dikatakan
bahwa pendidikan adalah pilar bangsa, jika pilar pendidikan ini tegak, tegak
pula suatu bangsa, dan jika roboh, roboh pula bangsa tersebut. Kekokohan pilar
bergantung pada banyaknya anak bangsa yang mengenyam pendidikan, dan tentunya
kuantitas ini ditopang oleh kualitas yang memadai. Oleh karena itu, kesempatan
pendidikan haruslah merata bagi seluruh anak bangsa, dan pihak pengelola bangsa
atau pemerintah haruslah pula memperhatikan kualitas proses dan hasil
pendidikan yang digulirkan.
Pendidikan bagi suatu
bangsa adalah suatu mega proyek yang perlu keseriusan dalam melaksanakannya.
Pemerintah telah menyadari hal ini, untuk itu, disusunlah Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai revisi dari
Undang-Undang No. 2 Tahun 1989, yang menyebutkan bahwa pendidikan dibagi dalam
tiga jalur, yakni jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Sekolah
merupakan jalur pendidikan formal, dan di luar sistem persekolahan pendidikan
yang terlaksana masuk dalam jalur pendidikan nonformal, baik diselenggarakan
oleh masyarakat dan pemerintah, atau informal (dalam keluarga). Ketiga jalur
pendidikan ini merupakan subsistem dari sistem pendidikan nasional sebagai
pilar utamanya yang saling terkait dan mendukung satu sama lain. Keterkaitan
antara ketiga subsistem pendidikan ini dibina dan dikembangkan atas prinsip konsistensi,
kontinuitas, dan konvergensi (trikon).
Prinsip konsistensi memberi arah bahwa kegiatan pendidikan di tiga
subsistem itu berjalan serasi, senyawa, dan saling menunjang. Prinsip
kontinuitas bermakna bahwa pendidikan di ketiga subsistem tersebut berhubungan
serta antara satu dengan lainnya dan bersinambung. Prinsip konvergensi
menekankan bahwa tujuan pendidikan di tiga subsistem itu mengarah pada
pencapaian tujuan pendidikan nasional, yakni berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab (Sudjana, 2004).
Selama ini, sistem persekolahan dianggap oleh masyarakat luas sebagai
tumpuan utama pendidikan, padahal mencerdaskan kehidupan bangsa bukan hanya
melalui pendidikan formal saja, akan tetapi peran pendidikan nonformal memiliki
peran dan fungsi yang strategis sesuai amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pasal 26 yang menyatakan pendidikan nonformal
diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang
berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal
dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi
peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan
fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia
dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan,
serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta
didik.
Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan
hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan
oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan, meskipun dalam praktiknya, tidak
semua jenjang pendidikan mengakui sertifikasi hasil pendidikan nonformal
seperti pada program kesetaraan, misalnya.
Untuk menjamin mutu pendidikan, bagi penyelenggara setiap satuan
pendidikan pada jalur formal dan nonformal wajib melakukan penjaminan mutu
pendidikan. Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana
dimaksud bertujuan untuk memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan
(PP No. 19 Tahun 2005).
Peran pendidikan nonformal yang begitu luas
yang juga menopang pendidikan di jalur formal dan informal tidak didukung oleh
jumlah SDM/ketenagaan yang kurang memadai, padahal data BPS-RI tahun 2015 menunjukkan
bahwa angka partisipasi sekolah (APS) penduduk (laki-laki + perempuan, di perkotaan + pedesaan) usia
7-12 tahun telah mencapai 98,57%, usia 13-15 tahun mencapai 94,25% dan usia 16-18 tahun mencapai 70,26%. Hal
tersebut menunjukkan masih terdapat sekitar 1,43% anak
usia 7-12 tahun, sekitar 5,75% anak usia
13-15 tahun dan sekitar 29,74% anak uisa 16-18 tahun yang
tidak bersekolah, baik karena belum pernah sekolah, putus sekolah, atau tidak
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Lebih lanjut diketahui bahwa sebagian
besar (75,7%)
keluarga menyatakan penyebab utama anak putus sekolah atau tidak melanjutkan
sekolah adalah karena alasan ekonomi, yang bervariasi dari tidak memiliki biaya
sekolah (67,0%) serta harus bekerja dan mencari nafkah (8,7%).
Di samping jumlah, kualitas ketenagaan, baik
pendidik maupun tenaga kependidikan, pendidikan nonformal tentunya juga harus
menjadi perhatian dan upaya pemerintah untuk terus meningkatkannya agar kualitas
lulusan atau hasil pendidikan nonformal tidak layak untuk diragukan lagi
sebagaimana lulusan dari pendidikan formal.
Keberadaan Direktorat Guru
dan Tenaga Kependidikan Pendidikan
Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (GTK PAUD dan DIKMAS) adalah untuk
meningkatkan kualifikasi,
kompetensi dan profesionalisme pendidik
dan tenaga kependidikan PAUD dan DIKMAS pada satuan pendidikan nonformal
seperti: lembaga
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Lembaga Kursus dan
Pelatihan (LKP),
kelompok belajar, Rumah
Pintar, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Untuk berbagai
upaya dilakukan untuk mengataasi permasalahan jumlah dan mutu pendidik dan tenaga
kependidikan PAUD dan DIKMAS. Namun demikian, pelaksanaan di lapangan
sepertinya belum nampak signifikan sebagaimana dikonsepkan.
Permasalahan yang
benar-benar nyata dirasakan lembaga-lembaga yang bergerak dan concern dalam pendidikan nonformal atau
pendidikan luar sekolah adalah pertama kurang optimalnya upaya pemerintah dalam
menggerakkan potensi masyarakat untuk lebih peduli dan bersedia berpartisipasi aktif
menjadi tenaga pendidik dan kependidikan nonformal, yang kedua adalah kurang
optimalnya upaya pemegang kebijakan untuk lebih meningkatkan kualitas tenaga
pendidik dan kependidikan nonformal.
Pendidikan
nonformal meliputi pendidikan anak usia dini, pendidikan kecakapan hidup,
pendidikan kewirausahaan, pendidikan kepemudaan (kelompok minat pemuda,
kelompok pemuda produktif), pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja (kursus, magang, KBU),
pendidikan kesetaraan (Paket A, B, dan C), serta pendidikan lain yang ditujukan
untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik yang notabene
berbasis pada pemberdayaan masyarakat marginal. Semua jenis pendidikan
nonformal tersebut dapat diselenggarakan melalui satuan-satuan pendidikan
nonformal yaitu pusat kegiatan belajar masyarakat lembaga kursus, lembaga
pelatihan, kelompok belajar, rumah pintar, majelis taklim, dan satuan
pendidikan yang sejenis.
Untuk
memberikan layanan pendidikan nonformal tersebut, diperlukan dukungan pendidik
dan tenaga kependidikan yang handal. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003,
pendidik adalah
tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong
belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang
sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan
pendidikan. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri
dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Pendidik dan tenaga
kependidikan nonformal terdiri dari PNS dan bukan-PNS. Pendidik dan tenaga
kependidikan yang berstatus PNS adalah pamong belajar (PB) dan penilik.
Sedangkan pendidik dan tenaga kependidikan yang berstatus bukan-PNS adalah
tutor, fasilitator, tenaga lapangan dikmas (TLD), nara sumber teknis, Pamong
PAUD, inisiator pemuda, dan sebagainya.
Berikut adalah paparan singkat
tentang para tenaga pendidik dan kependidikan nonformal:
a. Penilik
Penilik adalah
jabatan fungsional dan jabatan karier yang hanya dapat diduduki oleh
PNS. Penilik mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak
untuk melakukan pemantauan, penilaian dan bimbingan terhadap penyelenggaraan
pendidikan luar sekolah (KepMenpan 15/KEP/M.PAN/3/2002). Kedudukan
Penilik adalah sebagai pelaksana teknis fungsional penilikan pendidikan luar
sekolah pada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota atau dinas lainnya yang
bertanggung jawab di bidang pendidikan luar sekolah. Penilik
diangkat oleh bupati/walikota. Meskipun berkedudukan pada tingkat
kabupaten/kota, namun pelaksanaan tugas penilik adalah pada tingkat kecamatan
atau desa.
Sampai dengan
akhir 2004 saja jumlah penilik di seluruh Indonesia adalah sebanyak 6.651
orang, tentu saja data ini bisa jadi berbeda (bisa berkurang ataupun bertambah)
belum ada rilis data terbaru terkait jumlah pasti penilik saat ini. Apabila
dikaitkan jumlah penilik yang ada dengan beban kerja dalam mendukung
pelaksanaan program PNF di wilayah kabupaten/kota, serta adanya pemekaran
wilayah kabupaten/kota, kecamatan, dan desa maka jumlah penilik juga perlu
ditambah. Idealnya setiap 5 desa atau kelurahan terdapat 1 orang
Penilik (Kepmenpan 15/KEP/M.PAN/3/2002). Sedangkan jumlah desa dan kelurahan
sampai akhir tahun 2015 adalah sebanyak 74.754 sehingga dibutuhkan Penilik
sebanyak kurang lebih 14.950 orang. Dengan demikian idealnya masih perlu
penambahan penilik sebanyak 8.399 orang untuk mencover wilayah layanan di 34
provinsi.
b. Pamong Belajar
Pamong Belajar
(PB) adalah PNS yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak untuk
melaksanakan pengembangan model, pengkajian program, KBM, pembuatan
percontohan, serta penilaian dalam rangka pengendalian mutu dan dampak
pelaksanaan program pendidikan luar sekolah, pemuda, dan olahraga.
Para pamong
ini ada yang bertugas di BP-PAUD dan DIKMAS dimasing-masing provinsi (22
provinsi tahun 2017) dan ada pula yang bertugas di SKB kabupaten/kota.
Berhubung secara sangat mencolok tugas BP-PAUD dan DIKMAS di satu sisi sangat
berbeda dengan SKB di sisi lain, demikian pula tugas para pamong pada kedua
instansi tersebut. Pamong di BP-PAUD dan DIKMAS terutama bertugas
dan bertanggungjawab dalam pengembangan model yang sesuai dengan karakteristk
dan kebutuhan setempat, serta penjaminan mutu.
Dengan
demikian pengembangan model ini menjadi sangat penting mengingat keragaman
karakteristik dan kebutuhan berbagai suku dan wilayah di Indonesia tidak dapat
ditangani dengan satu model. Model yang dikembangkan para pamong di kedua
lembaga ini adalah model program layanan pendidikan, model lembaga pemberi
layanan, dan model tenaga pemberi layanan. Di sisi lain, para pamong di SKB
terutama bertugas dan bertanggung jawab dalam membuat percontohan (labsite) program-program PAUD dan
DIKMAS. Pembuatan percontohan ini ditujukan agar ketika ada
kelompok masyarakat yang berniat untuk membuka program dalam rangka memberikan
layanan pendidikan nonformal maka mereka dapat mencontoh dari SKB.
Setelah
diberlakukannya otonomi daerah PB terbagi menjadi dua, yaitu PB yang berstatus
sebagai pegawai pusat dan pegawai daerah. PB yang berstatus sebagai pegawai
pusat berada pada Balai Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan
Masyarakat (BP-PAUD dan DIKMAS). PB yang berstatus sebagai pegawai daerah
berada pada SKB/UPTD kabupaten/kota.Tahun 2017 berlakunya kebijakan nasional
bahwa urusan pendidikan nonformal tidak lagi ditangani pemerintah provinsi
melainkan langsung oleh pemerintah ditingkat kabupaten/kota PB pada
BP-PAUD dan DIKMAS pembinanya adalah langsung pusat. PB yang berada di
SKB/UPTD kabupaten/kota pembinanya adalah pemerintah kabupaten/kota.
c. Tutor Keaksaraan
Pendidikan keaksaraan adalah layanan pendidikan pada warga masyarakat
buta aksara latin agar memiliki kemampuan membaca, menulis, dan berhitung,
Berbahasa Indonesia, dan menganalisa sehingga memberikan peluang untuk
aktualisasi potensi diri.
Pendidik/tutor pendidikan keaksaraan dasar adalah setiap orang yang
bersedia dan berkomitmen membantu membelajarkan peserta didik. Untuk menjadi tutor
pendidikan keaksaraan secara umum dipersyaratkan:
1. Memiliki
kompetensi keberaksaraan dan pengetahuan dasar tentang substansi materi yang
akan dibelajarkan.
2. Mampu
mengelola pembelajaran dengan kaidah-kaidah pembelajaran orang dewasa.
3. Pendidikan
minimal SMA/sederajat (khusus tutor sebaya cukup memiliki kemampuan baca tulis
hitung dan bahasa Indonesia serta memiliki akses ke lingkungan komunitas
sasaran)
4. Bertempat
tinggal di atau dekat dengan lokasi pembelajaran.
Permasalahan penyelenggaraan pendidikan khususnya pendidikan keaksaraan,
utamanya di daerah sulit akses antara lain adalah permasalahan tutor, seperti
kekurangan jumlah (shortage), distribusi tidak seimbang (unbalanced
distribution) bahkan tidak ada distribusi (undistribution), kualifikasi di
bawah standar (under qualification), kurang kompeten (low competencies).
d. Tutor Kesetaraan (Paket A, B dan C)
Tutor Paket A
mreupakan tutor kelompok belajar. Ia harus mampu menjelaskan konsep-konsep yang
sulit dipelajari oleh peserta didik untuk seluruh bidang studi. Tugas Tutor
Paket A mirip dengan guru SD, yang merupakan guru kelas. Penentuan
jumlah tutor Paket A juga dilakukan berdasar jumlah kelompok peserta didik
peserta program. Setiap kelompok belajar dengan jumlah peserta
didik 10 orang membutuhkan 1 orang tutor.
Mengingat
makin kompleksnya materi bidang studi pada Paket B, maka sistem pengelolaan
pembelajarannya menggunakan sistem tutor bidang studi. Pembelajaran
pokok untuk Paket B meliputi 6 bidang studi yang diujikan secara
nasional. Dengan demikian setiap kelompok dengan peserta didik 20
orang membutuhkan tutor bidang studi sebanyak 6 orang. Sdangkan
untuk tutor Paket C juga merupakan tutor bidang studi sama halnya dengan tutor
paket B. Setiap kelompok belajar Paket C juga memerlukan 6 orang tutor
bidang studi
Kondisi
dilapangan menunjukkan distribusi tutor program kesetaraan (Paket A, B dan C) di
tingkat provinsi tidak merata apalagi di daerah-daerah sulit akses. Walau
secara nasional terdapat kekurangan tutor, namun kesenjangan antara jumlah
tutor yang diperlukan dan yang ada beragam menurut provinsi. Terlepas dari semua permasalahan yang
melingkupi penyelenggaraan program kesetaraan baik itu dari sisi keterbatasan
tutor, pengelolaan program dan pembelajaran dan lain sebagainya patut diketahui
bahawa secara nasional (Dapodik) data peserta UN program kesetaraan per 26 Januari
2017 adalah Paket A sebesar 60.167 orang, Paket B sebesar 135.393 orang, Paket
C sebesar 286.391 orang. Angka-angka tersebut tentu tidak kecil. Dengan
keterbatasan yang ada penyelenggara harus menyukseskan UN dan mengantarkan
peserta didik kejenjang masa depan yang lebih baik.
e. Tenaga Lapangan Dikmas (TLD)
TLD merupakan
tenaga kontrak tahunan yang bertugas membantu Kepala Cabang Dinas
Pendidikan Kecamatan dalam mengumpulkan, mengolah, dan mengevaluasi data PNF
dalam rangka mendukung pemastian kualitas pelaksanaan program PNF
setempat. Menjadi TLD harus memiliki kualifikasi tingkat pendidikan S1 oleh
karena itu tugas TLD disesuaikan dengan pengetahuan dan keterampilannya. Pada
awalnya tugas ini adalah tugas penilik, namun setelah penilik berubah fungsi
menjadi tenaga fungsional, maka tugas tersebut diambil alih TLD.
Dengan
demikian, tugas TLD semakin berat karena disamping melaksanakan tugas sebagai
pemantau program PNF, penilik juga bertugas membantu Kepala cabang dinas
pendidikan kecamatan untuk merencanakan dan memastikan kualitas program di
kecamatan. Dengan kualifikasi yang dimiliki TLD maka TLD diposisikan
sebagai pemikir dan pekerja. Tugas ini sangat berat. karena kualifikasi yang
dimiliki pada umumya lebih tinggi dari staf tenaga kependidikan yang ada di
dinas pendidikan kecamatan Tidak jarang seorang TLD harus bekerja tanpa
mengenal waktu dan banyak pula yang bekerja didaerah khusus.
Banyak dari mereka menerima honor yang lebih rendah dari living
cost yang harus dikeluarkan, karena TLD dituntut untuk mempersiapkan sarana
dan prasarana kerja yang dibutuhkan oleh masyarakat. Penghargaan yang
diterima TLD belum seimbang dengan dedikasi yang dilakukan, belum adanya
penghargaan atas prestasi yang diperoleh mengakibatkan TLD bekerja kurang
optimal. Tahun 2005 pemerintah telah menunjukkan kebijakan yang
menggembirakan dimana dalam penerimaan calon PNS diutamakan tenaga
honorer termasuk TLD.
f.
FDI
Fasilitator
Desa Intensif (FDI) adalah tenaga kontrak berpendidikan sarjana, satu sarjana
eksata dan satunya lagi non-eksata, yang bertugas memberikan layanan PNF yang
merata dan berkualitas, terutama bagi masyarakat yang bermukim di desa-desa
dengan kategori terpencil dan tertinggal.
Dalam rangka
memberikan pelayanan PNF yang merata dan berkualitas, terutama bagi masyarakat
yang bermukin di desa-desa dengan kategori terpencil dan tertinggal ataupun
kantong-kantong sasaran PNF, diangkat 2 (dua) orang Fasilitator Desa Intensif
(FDI) yang berpendidikan sarjana, masing-masing sarjana eksakta dan non
eksakta. Tugas`FDI sebagai tenaga lapangan dalam rangka akselerasi pengentasan
desa tertinggal, tentu saja memiliki ciri dan semangat kerja yang
berbeda dengan tenaga kependidikan PNF lainnya.
Selain
memotivasi masyarakat agar mau dan mampu meningkatkan dirinya, FDI juga
melakukan pemetaan potensi ekonomi desa untuk digarap sebagai mata
pencaharian masyarakat sekitar. Strategisnya peran FDI tersebut, tidak
diimbangi oleh pemberian penghargaan dari pemerintah. Honor yang diterima masih
minim, jumlah ini masih dianggap kurang apabila ditinjau dari kemahalan
suatu daerah.
Ditinjau dari beban tugas FDI sudah
selayaknya kesejahteraan FDI ditingkatkan, mengingat hingga kini belum ada
penghargaan yang diberikan kepada FDI selain pemberian honor bulanan.
g. Pamong PAUD
Pendidik pada
PAUD adalah Pamong Paud yaitu tenaga honor yang diberi tugas, tanggung
jawab, wewenang untuk membimbing kegiatan pendidikan bagi anak usia dini.
Kegiatan pendidikan tersebut adalah kelompok bermain, taman penitipan anak, dan
sejenisnya. Pamong Paud berlatar belakang pendidikan minimal sekolah menengah
dan memiliki kompetensi untuk membimbing, mengasuh dan membelajarkan anak usia
dini.
Pertumbuhan
lembaga PAUD bak jamur dimusim penghujan belum mampu diimbangi dengan keberadaan
jumlah tenaga pendidik PAUD yang kempeten di berbagai daerah. Walaupun secara
nasional terdapat kekurangan Pamong PAUD, namun ternyata distribusi pamong yang
ada sangat beragam sehingga tingkat kecukupannyapun berbeda-beda antar-provinsi kekurangan
Potensi
masyarakat untuk terlibat dalam pendidikan nonformal
Banyaknya permasalahan
yang menggelayuti dunia pendidikan, khususnya pendidikan nonformal, tentunya
tidak dapat diselesaikan tanpa memperhatikan potensi SDA dan SDM yang ada di
negeri ini. Berikut adalah potensi-potensi yang dapat diolah, dikelola, dan
dimanfaatkan untuk mengatasi segala persoalan yang ada, diantaranya adalah:
1) Jumlah penduduk Indonesia yang saat
ini telah mencapai sekitar 220 juta jiwa. Jumlah penduduk yang besar ini
merupakan potensi dan aset bangsa jika dapat dikelola dengan baik dan benar.
Jika ada hanya 1% saja masyarakat Indonesia yang peduli dan bersedia turut
serta dalam menyukseskan pendidikan nonformal untuk mencapai wajib belajar 9
tahun dan mengentasan penduduk dari buta aksara, dan dengan proporsi yang tepat
penyebarannya, tentunya telah mampu mencukupi kebutuhan tenaga yang ada.
Paparan data pada tabel di atas sebenarnya telah dapat menggambarkan betapa
masyarakat telah bersedia mendedikasikan keilmuan dan tenaganya untuk kemajuan
pendidikan bangsa, meskipun baru sebagiannya saja.
2) Secara umum, masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang memiliki jiwa kebersamaan dan kemasyarakatan
yang tinggi, sehingga dari sinilah muncul istilah gotong royong. Jika jiwa tersebut masih mengakar
dengan kuat, tentunya tidak sulit bagi pemegang kebijakan untuk menggerakkan
partisipasi mereka dalam kegiatan pembelajaran yang lebih terprogram.
3) Kondisi geografis Indonesia yang kaya
akan sumber alam hayati. Kekayaan alam ini menjadi potensi untuk dapat dikelola
dan dimanfaatkan bagi seluas-luasnya kemakmuran masyarakat. Setidaknya ada tiga
hal yang dapat dilakukan dalam menyikapi hal ini, yaitu:
·
Belajar
dari pengalaman penduduk setempat dalam mengelola sumber alam yang kaya
tersebut secara turun-temurun sehingga tidak merusak alam dan menghabiskannya.
·
Kondisi
alam tersebut dapat digunakan sebagai sarana belajar bagi warga masyarakat yang
berada dalam proses pembelajaran, baik di
program kesetaraan maupun di keaksaraan.
·
Hasil
pengelolaan alam tersebut dapat dimanfaatkan bagi kemajuan dunia pendidikan
sehingga anggaran pendidikan yang direncanakan akan mencapai 20% dapat
terpenuhi.
4) Keberadaan konstitusi negara yang
mengharuskan warga negara untuk “menjelma” menjadi insan yang cerdas dan
berkeimanan dengan pendidikan.
5) Hubungan luar negeri yang baik dengan
negara-negara di dunia. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk dilakukannya kerjasama
dalam bidang pendidikan, misalnya dengan permintaan tenaga pendidik dari negara
asing maupun bantuan sarana dan prasarana pendidikan serta dana segar.
Memperhatikan beberapa
potensi di atas bagi pemecahan masalah pendidikan nonformal, maka uapaya yang
perlu dilakukan oleh pemerintah adalah diantaranya, sebagai berikut:
·
Perlunya optimalisasi upaya peningkatan jumlah pendidik
dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal dengan membangkitkan partisipasi
masyarakat
Berdasarkan
paparan jumlah tenaga pendidik dan kependidikan dalam tabel pada Gambaran Umum
di atas, masih ada sekitar 70% lagi tenaga pendidik dan kependidikan yang
dibutuhkan untuk menjadi ujung tombak pendidikan nonformal. Jumlah yang ada
sekarang jauh dari memadai padahal wilayah dan sasaran garap pendidikan
nonformal sangatlah banyak dan lebih kompleks dibanding dengan pendidikan
formal maupun informal. Walaupun telah diupayakan untuk pengadaan pendidik
khususnya tutor kesetaraan dan tutor keaksaraan oleh pemerintah, tetapi upaya
tersebut belum dapat memenuhi tutor di setiap kelompok belajar. Dari jumlah
pengadaan tutor untuk sepuluh peserta didik keaksaraan memerlukan satu orang
tutor, sedangkan untuk pendidikan kesetaraan, dengan perbandingan 40 peserta
didik membutuhkan satu orang tutor, maka dari ketersediaan tutor yang belum
mencukupi dari jumlah ideal memerlukan strategi yang cermat.
Kurang mencukupi dari jumlah ideal tersebut merupakan indikasi adanya
pendayagunaan tutor yang tidak efisien
disebabkan beberapa faktor, yaitu (1) tutor kurang diminati masyarakat sebagai
pilihan profesi; (2) banyaknya tutor yang menumpuk di perkotaan, tidak
menjangkau wilayah kabupaten/kota tertinggal. Dua permasalahan tersebut
sebenarnya merupakan imbas pula dari kebijakan terdahulu yang terkesan
memarginalisasikan pendidikan nonformal, sehingga tidak seluruh masyarakat
mengenal apa itu pendidikan nonformal sebagaimana program KB yang dilancarkan
oleh BKKBN, dan pentingnya pendidikan nonformal meskipun keberadaannya ada di
sekeliling mereka, seperti misalnya kursus dan magang.
Pendidikan nonformal perlu dikenalkan seluas-luasnya kepada segenap
komponen bangsa, dari masyarakat bawah sampai masyarakat level atas. Media
massa elektronik seperti radio dan televisi dapat menjadi sarana yang paling
efektif—namun mungkin tidak efisien
mengingat biayanya yang tidak murah—karena saat ini, masyarakat begitu
keranjingan “menikmati” media ini, terutama masyarakat menengah ke bawah,
sebagaimana iklan yang begitu mudah menarik konsumen apalagi jika iklan
tersebut dikemas secara menarik dan populis. Diharapkan dari upaya ini, akan
muncul kepahaman masyarakat tentang apa itu pendidikan nonformal dan timbul
kesadaran untuk turut berpartisipasi aktif di dalamnya. Jika timbul kesadaran masyarakat
untuk turut berpartisipasi aktif, akan tidak sulit untuk merekrut pendidik dan
tenaga kependidikan dari kalangan masyarakat sendiri. Untuk lebih membangkitkan
kesadaran dan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, perlu kiranya
melakukan upaya penggerakan atau memotivasi masyarakat. Biasanya, upaya
memotivasi akan berhasil jika ditumbuhkan kebutuhan pihak yang dimotivasi, atau
istilah dalam Quantum Teaching adalah AMBAK( apa manfaatnya bagiku).
Untuk menambah jumlah pendidik dan tenaga kependidikan ini, pihak yang
berwenang perlu bekerjasama dengan kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan yang
ada banyak di masyarakat, misalnya Karang Taruna, PKK, Dharma Wanita, dan
sejenisnya, dan untuk daerah terpencil bekerjasama dengan kelompok-kelompok
adat yang ada melalui tokoh-tokoh adatnya. Di samping itu, perlu kiranya
dilakukanopen recruitment bagi individu yang bersedia menjadi pendidik
dan tenaga kependidikan PNF dengan syarat-syarat tertentu, melalui cara yang
transparan dan sehat. Dengan upaya ini diharapkan akan didapatkan pendidik yang
tidak menjadikan PNF sebagai “sambilan” saja.
Munculnya kesadaran masyarakat berpartisipasi aktif ini hendaknya diimbangi
dengan perhatian yang optimal dari pemerintah melalui instansi yang berwenang
untuk memberikan peluang peningkatan kompetensi (pembinaan) dan penghargaan dan
perlindungan yang memadai. Jika dituangkan dalam bentuk bagan, akan tergambar sebagai berikut:
·
Perlunya optimalisasi upaya peningkatan mutu pendidik
dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal
Dari sisi kualitas, hanya
sebagian saja tenaga pendidik dan kependidikan nonformal yang sesuai dengan
standar yang ditetapkan. Secara keseluruhan kualifikasi tutor yang telah S1 baru
mencapai 60%, sedangkan kompetensi
mengajar dan penguasaan bahan ajar masih belum memadai dibandingkan dengan
tujuan pembelajaran yang diharapkan dari kegiatan Paket A dan B. Misalnya
seorang tutor harus memiliki kemampuan dalam membelajarkan peserta didik yang
pada umumnya memiliki keterbatasan waktu, ekonomi, dan sebagainya, sehingga
pembelajaran tetap menyenangkan baginya. Begitu pun halnya dengan tutor
keaksaraan, seringkali ditemui kegiatan pembelajaran yang dikelola tutor masih
konvensional, kurang merangsang aktivitas belajar bagi peserta didiknya. Di
sisi lain, karakteristik peserta didik yang berbeda dengan siswa di
persekolahan, maka tentunya membutuhkan pendekatan dan strategi yang sesuai
dengan karakteristik dari peserta didik.
Keberadaan dan peran pendidik
dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal tidak terlepas dari
pembinaan yang perlu dilakukan oleh Direktorat GTK-PAUD dan DIKMAS. Dalam
menjalankan tugas dan fungsinya sebagai institusi yang diberikan tanggung jawab
dan kewenangan dalam melakukan pembinaan dan peningkatan mutu pendidik dan
tenaga kependidikan pendidikan nonformal, tetap memperhatikan aspek-aspek yang
tertuang dalam Standar Nasional Pendidikan dalam bidang pembinaan mutu
ketenagaan. Seiring dengan tugas dean fungsi
tersebut, guna meningkatkan kompetensi
tutor keaksaraan
dan kesetaraan dari tahun ketahun selalu ada trobosan yang dutempuh oleh Direktorat GTK PAUD dan DIKMAS dalam rangka dan upaya meningkatkan
kompetensi tenaga pendidik dan kependidikan pendidikan nonformal. Salah satu upaya
tersebut adalah abekerjasama dengan Training Provider
telah melatih Tutor Paket A sebanyak 200 orang dan Tutor paket B sebanyak 440
orang ditahun
2006. Sedangkan
capaian sasaran pelatihan yang dilakukan
oleh UPT diketahui bahwa pelatihan bagi Tutor Paket A sebanyak 940 orang; dan Tutor Paket B sebanyak 1820
orang. Sedangkan pada tahun 2007, Direktorat GTK PAUD dan DIKMAS yang dahulu masih
mengunakan nomenkelatur Dit.PTK-PNF merencanakan untuk melatih calon
pelatih bagi pelatihan tutor Paket A sebanyak 80 orang; dan pelatihan tutor
Paket B sebanyak 180 orang. Pasca pelatihan, diharapkan mereka menjadi pelatih
di daerah. Pada tahun 2007 ini, melalui anggaran blockgrant yang
diberikan kepada UPT, diharapkan tercapai sasaran pelatihan untuk tutor paket A
sebanyak 4600 orang dan tutor paket B sebanyak 4600 orang.
Program peningkatan mutu bagi tutor keaksaraan dan tutor
kesetaraan tidak saja melalui kegiatan pelatihan, tetapi juga dengan cara
melibatkan mereka dalam berbagai kegiatan forum ilmiah, seminar guna
meningkatkan wawasan dan pengetahuan khusus pengembangan strategi pembelajaran.
Sebab salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya menuntaskan wajar dikdas dan
pemberatasan buta aksara adalah masih ditemukanya masih banyaknya tutor yang
mengandalkan strategi pembelajaran konvesional, sehingga tidak menarik dan kurang
menumbuhkan motivasi belajar kepada warga belajarnya. Inovasi pembelajaran yang
semestinya dapat dikembangkan oleh tutor, tidak maksimal terwujud. Jika
ditelaah runtunannya, mulai dari rekruitmen tutor, belum dapat terseleksi
dengan baik. Kondisi ini terjadi telah lama, perhatian pemerintah daerah tidak
seimbang dengan guru pada jalur formal. Paling tidak, walaupun tidak mungkin
sama, diperlukan perhatian pemerintah daerah mulai dari rekruitmen tutor guna
mendukung program pendidikan keaksaraan dan pendidikan kesetaraan.
Upaya pemerintah dalam peningkatan mutu pendidik dan
tenaga kependidikan melalui pelatihan dan kegiatan seminar atau forum ilmiah
yang lain ini patut dihargai. Namun sayangnya, tidak semua jenis kegiatan
berjalan efektif meskipun mungkin efisien. Kegiatan pelatihan, misalnya,
seringkali tidak optimal. Penyelenggaraan terkesan hanya sekadar
menyelenggarakan. Sejak awal, need assesment peserta pelatihan tidak dijadikan acuan
pemberian materi dan metode pembelajarannya. Akibatnya, sebagaimana cara para
tutor menyampaikan pembelajaran di kelompok belajar seperti disebutkan di atas,
demikian pula para tutor ini dilatih. Seringkali panitia pelatihan terlhat
tidak siap ketika hari “H”nya, diikuti dengan proses pelaksanaan yang banyak
teori dan kurang praktik sehingga terasa monoton, sampai dengan evaluasi di
akhir pelatihan yang tidak dilakukan atau hanya formalitas saja. Dan ketika
pelatihan selesai, selesai pula program; tidak ada upaya yang lebih serius
untuk menindaklanjuti program, seperti dengan pemantauan dan bimbingan.
Tentunya hal ini akan berpengaruh pada kualitas keluaran pelatihan tersebut.
Seharusnya, pelatihan bagi peningkatan mutu pendidik dan
tenaga kependidikan ini direncanakan dengan sangat serius dan cermat sejak
awalnya, dari mulai perencanaan sampai “pengawalan” pasca pelatihan untuk
menjamin hasil pelatihan diterapkan di lapangan. Sebagai rangkaian proses awal
penyelenggaraan, perlu disebarkan angket bagi calon peserta untuk mengetahui
kebutuhan mereka atau harapan ketika mengikuti pelatihan dan hasil yang akan
didapat. Data yang diperoleh dari angket selanjutnya diolah atau dianalisis,
dan dari sinilah dapat ditentukan materi yang tepat bagi mereka dan strategi
apa yang sesuai untuk mereka. Jika materi dan strategi (atau metode) yang
digunakan sesuai dengan kebutuhan peserta pelatihan (pendidik atau tenaga
kependidikan), diharapkan akan ada peningkatan kemampuan dan kompetensi yang
didapat.
Di akhir pelaksanaan pelatihan, perlu diadakan evaluasi (posttest)
untuk mengetahui sejauhmana peserta pelatihan memahami materi pelatihan yang
disampaikan. Namun demikian, sebelum pelaksanaan proses pembelajaran, evaluasi
awal (pretest) perlu dilakukan juga, untuk mengetahui
kemampuan/pemahaman awal peserta pelatihan sebelum diberikan treatment pelatihan.
Demi tetap terjaganya kemampuan peserta pasca mengikuti
pelatihan atau kegiatan lain yang sejenis setelah mereka kembali ke tempat
tugas masing-masing, program tidak berhenti begitu saja, tapi dilanjutkan
dengan monitoring dan evaluasi pasca pelatihan, yakni kegiatan yang dilakukan
untuk memantau dan mengevaluasi kemampuan dan diterapkannya hasil pelatihan di
lapangan/tempat tugasnya. Kegiatan ini dilaksanakan beberapa bulan (paling
tidak tiga bulan) setelah pelatihan tersebut dilaksanakan. Jika ternyata dirasa
perlu untuk diberikan penguatan kembali terhadap pemahaman dan kemampuan, maka
petugas monev dapat pula melakukan bimbingan teknis kepada mereka. Dalam
bimbingan teknis ini didiskusikan apa yang menjadi kendala-kendala mereka dalam
pengaplikasian hasil pelatihan di tempat tugas mereka beserta solusi yang
tepat, sehingga diharapkan hasil pelatihan dapat terjaga penerapannya di
lapangan.
·
Pelaksanaan pelatihan atau kegiatan lain yang relevan (seminar atau forum
ilmiah lain) bagi peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal.
Berbagai
upaya peningkatan kualifikasi dan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan
hasilnya tidak akan optimal menyentuh sasaran jika mereka yang non-PNS tidak
diberikan “ikatan” yang jelas. Pemerintah perlu memperjelas kedudukan/jabatan
mereka sebagai tutor, TLD, FDI, atau yang lainnya sehingga ketika mereka telah
menempuh pelatihan dan semacamnya hasilnya dapat langsung diterapkan di
lapangan. Pemberian kesempatan bagi para tutor dan TLD, misalnya, untuk
melanjutkan studi ke S1 atau S2 perlu dipertimbangkan dan diseleksi ketat demi
menjamin ketika mereka lulus akan tetap mengabdi pada satuan PNF tempat asalnya
atau di lingkup kelembagaan PNF.
Simpulan
Simpulan yang dapat dipetik dari kupasan di atas adalah, sebagai berikut:
1.
Salah satu permasalahan pendidikan nonformal adalah
kurangnya jumlah dan mutu pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan
nonformal.
2.
Kurangnya jumlah pendidik dan tenaga kependidikan ini
dapat diupayakan dengan menggali partisipasi aktif masyarakat untuk bersedia
menjadi pendidik atau tenaga kependidikan pendidikan nonformal.
3.
Pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga sosial
kemasyarakatan atau kelompok-kelompok adat untuk membangkitkan partisipasi
masyarakat tersebut.
4.
Pembangkitan partisipasi masyarakat perlu didahulu dengan
kegiatan sosialisasi untuk mengenalkan PNF dan pentingnya PNF dalam
mencerdaskan bangsa. Dasi kegiatan ini diharapkan muncul kesadaran dan diikuti
oleh partisipasi masyarakat secara massif dalam aktivitas PNF.
5.
Pemerintah perlu melakukan open recruitment pula
untuk menjaring pendidik dan tenaga kependidikan dari unsur perseorangan
masyarakat sehingga didapat tenaga yang berkonsentrasi penuh pada PNF, dan
bukan hanya sambilan. Untuk
itu, pemerintah perlu mengupayakan pemberian status yang lebih jelas dengan
disertai penghargaan dan perlindungan terhadap mereka.
6.
Penambahan
kuantitas hendaknya disertai dengan peningkatan mutu. Untuk itu perlu
diselenggarakan kegiatan up grading para pendidik dan tenaga
kependidikan ini melalui pelatihan, seminar, dan forum-forum ilmiah lainnya.
Pelaksanaannya kegiatan tersebut di atas hendaknya diorganisasikan dengan baik
dan menyentuh aspek kebutuhan sasaran sehingga tidak terkesan asal
menyelenggarakan saja.
7.
Pemecahan
permasalahan dalam pendidikan nonformal ini hendaknya memperhatikan potensi
yang ada, yakni:
a.
Jumlah
penduduk besar.
b.
Jiwa
kebersamaan dan kemasyarakatan yang tinggi.
c.
Kondisi
geografis Indonesia yang kaya akan sumber alam hayati.
d.
Konstitusi
negara
e.
Hubungan
luar negeri yang baik dengan negara-negara di dunia.
![](file:///C:/Users/ASUS/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.png)
Daftar
Pustaka
Komar, O (2006). Filsafat Pendidikan Nonformal. Bandung: Grafika
Sudjana, D (2004). Pendidikan
Nonformal Wawasan, Sejarah Perkembangan, Filsafat, Teori Pendukung, Asas.
Bandung: Falah Production.
_________. (2004). Manajemen
Program Pendidkan untuk Pendidikan Nonformal dan Pengembangan SDM. Bandung:
Falah Production.
Undang-Undang Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Komentar
Posting Komentar